Punya Medan Menantang, Hanya 50 Pilot yang Bisa Mendarat di Bandara Ini

Punya Medan Menantang, Hanya 50 Pilot yang Bisa Mendarat di Bandara Ini
Paro International Airport, Paro, Bhutan. (Photo by vineet singh on Unsplash)

SEAToday.com, Jakarta - Bandara Internasional Paro (PBH) Bhutan dikenal sebagai salah satu bandara dengan pendaratan pesawat tersulit di dunia. Medan menantang tersebut tergambar dari landasan pacu pendek di antara dua puncak setinggi 18.000 kaki.

Untuk mendaratkan pesawat di bandara ini tentu membutuhkan pengetahuan teknis dan keberanian baja. Kondisi unik untuk terbang masuk dan keluar dari Paro berarti pesawat jet jumbo tidak dapat digunakan.

"Memang menantang bagi keterampilan pilot, tetapi tidak berbahaya, karena jika berbahaya, saya tidak akan terbang," kata kata Kapten Chimi Dorji, yang telah bekerja di maskapai penerbangan nasional milik negara Bhutan, Druk Air (alias Royal Bhutan Airlines), selama 25 tahun, dilansir CNN Travel.

Kombinasi faktor geografis membuat Paro dan sebagian besar Bhutan, tampak memukau secara visual. Faktor-faktor tersebut juga membuat terbang masuk dan keluar Paro menjadi keterampilan yang sangat terspesialisasi.

Paro adalah bandara kategori C, yang berarti bahwa pilot harus memiliki pelatihan khusus untuk terbang di sana. Mereka harus melakukan pendaratan sendiri secara manual, tanpa radar.

Seperti yang dikatakan Dorji, sangat penting bagi pilot untuk mengetahui lanskap di sekitar bandara, jika Anda mengacaukannya sedikit saja, Anda dapat mendarat di atas rumah orang.

"Di Paro, Anda benar-benar perlu memiliki keterampilan lokal dan kompetensi bidang pengetahuan lokal. Kami menyebutnya pelatihan kompetensi area atau pelatihan area atau pelatihan rute dari mana saja ke Paro," katanya kepada CNN Travel.

Lebih dari 97 persen wilayah Bhutan berupa pegunungan. Ibu kotanya, Thimpu, berada pada ketinggian 7.710 kaki (2.350 meter) di atas permukaan laut. Paro sedikit lebih rendah, dengan ketinggian 7.382 kaki.

"Di ketinggian yang lebih tinggi, udaranya lebih tipis, sehingga pesawat pada dasarnya harus terbang di udara lebih cepat," jelas Dorji, yang selain menerbangkan pesawat kini juga melatih pilot dan awak kabin Druk Air. "Kecepatan udara Anda yang sebenarnya akan sama, tetapi kecepatan udara Anda dibandingkan dengan kecepatan di darat jauh lebih cepat."

Hal berikutnya yang perlu dipertimbangkan adalah cuaca. Siapa pun yang pernah terbang ke Paro, yakni dari New Delhi, Bangkok, Kathmandu, atau, mulai Oktober 2024, Hanoi, kemungkinan besar harus bangun pagi-pagi sekali untuk penerbangan mereka.

Hal tersebut dikarenakan petugas bandara lebih suka semua pesawat mendarat sebelum tengah hari demi keselamatan optimal karena kondisi angin kencang.

"Kami mencoba menghindari operasi setelah tengah hari karena pada saat itu Anda akan mendapatkan banyak angin termal, suhu meningkat, hujan belum turun," kata Dorji. "Jadi daratan menjadi kering dan Anda akan mendapatkan semua tetesan air dan angin anabatik/katabatik di lembah pada sore hari. Pagi hari jauh lebih tenang."

Akomodasi yang berbeda harus dilakukan selama musim hujan, yang biasanya antara bulan Juni dan Agustus.

Tidak jarang terjadi badai petir pada waktu itu, lengkap dengan hujan es yang dapat mencapai ukuran bola golf.

Katanya, bagian dari pelatihan pilot bukan hanya mengetahui cara terbang, tetapi mengetahui kapan tidak boleh terbang, dan mampu mengambil keputusan saat waktu yang tidak aman untuk lepas landas.

Faktor terakhir dalam tingkat kesulitan Paro adalah apa yang disebut Dorji sebagai "rintangan", yaitu, medan pegunungan yang mengelilingi bandara.

Landasan pacu Paro hanya sepanjang 7.431 kaki, dan diapit oleh dua gunung tinggi. Akibatnya, pilot hanya dapat melihat landasan pacu dari udara saat mereka hendak mendarat di sana.

Walau Bhutan hanya memiliki puluhan pilot berlisensi, ada kepentingan nasional yang dinyatakan dalam perekrutan dan pelatihan lebih banyak pilot muda secara lokal, bukan hanya merekrut dari luar negeri.

Calon pilot harus menunjukkan kemampuan mereka untuk terbang di semua musim yang bervariasi di Bhutan. Sebagai maskapai nasional, Druk Air telah mengambil banyak tanggung jawab untuk pelatihan pilot pada dirinya sendiri.

"Saya menganggap diri saya sebagai jembatan antara generasi lama dan generasi baru," kata Dorji, yang berusia 43 tahun.

Ia yakin ada 50 pilot berlisensi di Bhutan, tetapi jumlah itu dapat dengan mudah berlipat ganda dalam beberapa tahun ke depan. "Saya menantikannya," tutupnya.