• Rabu, 05 Februari 2025

Sejarah Bantal Guling: Kisah Dutch Wife yang Lahir dari Rahim Penjajahan Belanda

Sejarah Bantal Guling: Kisah Dutch Wife yang Lahir dari Rahim Penjajahan Belanda
Kamar tidur orang Belanda pada masa penjajahan lengkap dengan kelambu dan bantal guling (dutch wife) | Wereldmuseum Amsterdam

SEAToday.com, Jakarta - Dunia pariwisata Indonesia tak pernah kehabisan ide untuk mengorbitkan budaya Nusantara. Gebrakannya ada banyak. Indonesia bisa mengangkat popularitas jamu tradisional. Indonesia bisa pula menjagokan tren pengobatan tradisional lainnya.

Dulu kala, pariwisata Indonesia ketika masih bernama Hindia Belanda tak kalah banyak. Penjajah Belanda tak pusing-pusing menjual atraksi wisata. Mereka menjual pengalaman tidur siang. Mereka juga menjual budaya makan rijsttafel (budaya makan mewah). Istimewanya lagi mereka mempromosikan pengalaman gunakan bantal guling atau dutch wife (bini Belanda). Bagaimana bisa?

Kongsi dagang Belanda, VOC punya masalah besar di era awal penjajahan di Nusantara. Ketersediaan wanita Eropa begitu terbatas. Jarak yang jauh antara Belanda dan Nusantara jadi muaranya. Kondisi itu membuat wanita Eropa tak mau menggadaikan kenyamanannya di Belanda dengan ke Nusnatara.

Belum lagi banyak wanita Eropa menganggap hidup di Nusantara masih primitif. Jauh dari kenyamanan dan kekayaan. Serangkaian pandangan itu bawa masalah baru. Pejabat Kompeni dilarang kelas menikah dengan wanita lokal. Moral pejabat Kompeni jadi turun ke level terendah gara-gara berahi tak tersalurkan.

Mereka mengamini perzinahan. Mereka plesiran ke rumah pelacuran. Mereka juga mengangkat  seorang budak jadi gundik. Aksi itu membuat angka aborsi di kalangan pejabat Kompeni meninggi. Padahal, orang Belanda di kampung halamannya dikenal religius.

Jan Pieterszoon Coen sudah jauh-jauh hari meneropong fenomena kekurangan wanita Eropa. Gubernur Jenderal VOC era 1618-1623 dan 1627-1629 itu pernah meminta dengan tegas kepada petingginya Heeren Zeventien (Dewan 17) untuk datangkan wanita Eropa baik-baik saja. Namun, tak kesampaian.

“Karena persediaan wanita Eropa terbatas, maka para pegawai Kompeni dan para penduduk laki-laki Eropa Kota Batavia harus mencari pasangan dari wanita-wanita lokal. Namun, lagi-lagi hukum Kompeni ikut campur tangan dengan tujuan untuk menjamin stabilitas koloni,” ujar Sejarawan Jean Gelman Taylor dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia (2009).

Bini Belanda

Kekurangan Wanita jadi alasan utama banyak orang Belanda hidup berdampingan kaum bumiputra dan orang China. Kondisi itu nyatanya membentuk suatu kebudayaan campuran baru: kebudayaan indis. Corak kebudayaan itu hadir di mana-mana, dari arsitektur hingga perlengkapan tidur.

Bantal guling jadi salah satu di antaranya. Kehadiran bantal guling sukar ditemukan di masa Jawa Kuno atau masa kerajaan Islam. Oleh sebab itu, bantal guling identik dengan kebudayaan indis. Alias, produk budaya yang hadir selama masa penjajahan Belanda.

Sastrawan kenamaan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer pernah menuangkan pikirannya terkait bantal guling. Ia menganggap bantal guling adalah hasil budaya dari praktek pergundikan (pernyaian). Tanpa praktek itu sukar bantal guling bisa hadir.

“Penyaian tak lain dari produk sosial ekonomi masanya sendiri. Masa penyaian/pergundikan ini meninggalkan pada kita kekayaan peradaban baru, yaitu guling atau bantal panjang. orang Inggris mengejeknya dengan nama dutch wife, bini Belanda,” ujar Pram dalam buku Sang Pemula dan karya-karya non-fiksi (1984).

Pram juga menuangkan pandangan terkait guling dalam sebuah dialog dari novel Tetralogi Pulau Buru, Jejak Langkah (1985).  Ia mencoba menghadirkan topik batal guling lewat perbincangan ringan antara Wilam kepada rekam mahasiswa di Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra (STOVIA). Salah satunya Minke.

Wilam bercerita alasan asrama STOVIA tak dibiarkan ada guling. Pram lewat tokoh Wilam menceritikan bahwa guling adalah produk yang lahir di Nusantara. Alias guling takkan ditemukan di mana-mana. Guling bermula karena orang Belanda sulit membawa istri atau pasangannya ke Nusantara.

Mereka akhirnya membuat pengganti istrinya dengan buat guling. Sebuah bantal yang diisi kapas. Bantal yang berbentuk lonjong itu digunakan dengan cara menekuknya dengan kaki. Kehadiran guling memberikan rasa nyaman bagi penggunanya. Alasan yang membuat penggunanya tidur lelap.

“Tapi orang Belanda terkenal sangat pelit. Mereka ingin pulang ke negerinya sebagai orang berada. Maka banyak juga yang tak mau menggundik. Sebagai pengganti gundik mereka membikin guling –gundik yang tak dapat kentut itu,” ujar Pram meminjam mulut tokoh Wilam.

Belakangan Guling dijuluki sebagai dutch wife (bini Belanda). Konon istilah itu diberikan langsung oleh Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda era 1811-1816, Thomas Stamford Raffles. Mulanya untuk mengejek kebiasaan orang Belanda. Namun, orang Inggris sendiri justru kepincut guling.

Guling Kian Kesohor

Bantal guling atau dutch wife mulai terkenal di seantero negeri. Barang siapa yang datang ke Nusantara, niscaya akan kepincut dengan bantal guling. Mulanya mereka merasa heran. Ada juga yang menganggap guling bak mayat kecil.

Semuanya berubah kala mereka berlama-lama tinggal di Nusantara. Mereka akan terbiasa menggunakan guling. Pengalaman itu jadi bekal sempurna mereka ketika pulang ke negerinya masing-masing.

Pengalaman menggunakan guling banyak diceritakan dari mulut ke mulut. Ada pula yang menuliskan langsung pengalaman menggunakan guling dalam catatan perjalanan masing-masing. Catatan perjalanan itu membuat orang semakin penasaran dengan gundik tak kentut ala orang Belanda.

“Wiliam Basil Worsfold, penulis dari Inggris yang berkunjung ke Jawa pada 1892 menilai hotel di Jawa sudah baik. Di depan kamar masing-masing terdapat beranda. Tempat tidur dilengkapi kelambu menghindari gigitan nyamuk pada malam hari. Di atas tempat tidur ada bantal dan guling yang disebut dutch wife,” tegas Sejarawan Achmad Sunjayadi dalam buku Pariwisata di Hindia Belanda 1891-1942 (2019).

Kehadiran bantal guling dapat diterima oleh sebagai besar orang yang mendiami Nusantara. Tiada penolakan untuk guling. Bini Belanda membawa kebanggaan bagi sebagian besar kaum bumiputra. Buktinya bantal guling tak bisa lepas dari gaya hidup orang Indonesia.

Orang Indonesia pun bak tiada yang tak memiliki bini Belanda di rumahnya. Bantal guling itu mudah didapatkan. Harganya pun murah. Siapa saja dapat mengaksesnya dari golongan biasa saja hingga kaya dan sangat kaya.

 

 

 

 

Share
Rasa Nusantara
Rekomendasi Kuliner Lezat di Blok M, Dari Ayam Bakar Ganthari hingga Claypot Popo

Rekomendasi Kuliner Lezat di Blok M, Dari Ayam Bakar Ganthari hingga Claypot Popo

5 Kuliner Legendaris di Bali yang Wajib Kamu Coba

Bali memang juara dalam hal keindahan alam dan tempat wisata, tapi jangan lupakan kuliner legendarisnya! Selain tempat makan kekinian yang hits banget, Bali juga punya tempat makan yang sudah ada sejak puluhan tahun dan...

Rekomendasi 5 Bakso Enak di Jakarta, Pas Saat Cuaca Hujan

Berikut rekomendasi 5 bakso enak di Jakarta yang cocok dinikmati saat sore hari atau ketika cuaca sedang hujan.

5 Kuliner Legendaris di Jakarta yang Bisa Dijangkau dengan Transp...

Berikut 5 kuliner legendaris di Jakarta yang bisa dijangkau dengan transportasi umum.

Selain Dodol, Ini Oleh-Oleh Khas Garut yang Wajib Dibawa Pulang

Berikut rekomendasi oleh-oleh khas Garut selain dodol.

Trending Topik
Berita Terpopuler

Kusni Kasdut dan Robin Hood: Kisah Kelam Pejuang Kemerdekaan Jadi...

Indonesia juga mengenal orang baik jadi jahat. Kusni Kasdut, namanya. Kusni Kasdut awalnya pejuang kemerdekaan yang berubah jadi penjahat yang paling dicari.

Tradisi Unik Suku Toraja, Menikah dan Hidup Bersama Jenazah

Tradisi Unik Suku Toraja, Menikah dan Hidup Bersama Jenazah

Sejarah Blok M: Perjalanan Panjang Hadirkan Pusat Nongkrong Anak...

popularitas Blok M sebagai tempat nongkrong anak muda lintas generasi tak dibangun dalam waktu singkat. Ada jejak penjajah Belanda dan Ali Sadikin di dalamnya.

Penyanyi Era 70-an Dina Mariana Meninggal Dunia

Penyanyi era 70-an Dina Mariana meninggal dunia pada Minggu, 3 November 2024. Dina mengembuskan napas terakhir di usia 59 tahun.