• Senin, 23 September 2024

Pemuda Betawi Lawan penjajah Lewat Musik: Ismail Marzuki

Pemuda Betawi Lawan penjajah Lewat Musik: Ismail Marzuki
pejuang kemerdekaan dari Betawi, Ismail Marzuki | ISTIMEWA

SEAToday.com, Jakarta- Pejuang kemerdekaan dari tanah Betawi tak sedikit. Sosok panutan Kota Jakarta kerap hadir dalam segala bidang. Ada pejuang kemerdekaan yang kooperatif dan non kooperatif. Ada pula yang angkat senjata dan ada pula mengalunkan semangat revolusi kemerdekaan dengan musik.

Pemerintah DKI Jakarta sampai banyak mengabadikan putra daerahnya jadi monumen hingga nama tempat. Ambil contoh Ismail Marzuki. Komponis itu diabadikan sebagai rendezvous (tempat berkumpul) seniman Jakarta: Taman Ismail Marzuki (TIM). Begini jasanya.

Tiada yang salah jika orang-orang menganggap senjata dan pena sebagai alat perjuangan yang ampuh. Senjata digambarkan sebagai alat pejuangan memukul mundur kaum penjajah. Pena pun demikian. Pena digambarkan seraya alat yang membakar semangat perjuangan ‘lantunan’ tulisan.

Alat-alat perjuangan itu membawa dampak yang signifikan untuk melepas belenggu penjajahan Belanda, lalu Jepang. Perjuangan pun tak melulu lewat senjata dan pena. Ada pula pejuang kemerdekaan yang justru menggunakan medium musik dalam berjuang.

Pejuang itu dikenal sebagai Ismail Marzuki. Ismail mencoba menerobos batasan. Ismail dapat membakar semangat kaum bumiputra dengan lagu-lagu gubahannya. Ia lihai dalam menyelipkan pesan nasionalisme dan kemerdekaan, seraya pelumas perjuangan.

“Ismail memiliki perhatian yang amat luas terhadap perbagai hal. Yang pertama tentu pada kehidupan, berikutnya terhadap alam, dan yang kental menjadi ciri khasnya adalah cinta Tanah Air, dan upaya untuk mencapai negara merdeka, dan mempertahankan kemerdekaan,” kata Ninok leksono dalam buku Seabad Ismail Marzuki: Senandung Melintas Zaman (2014).

Bakat Musik Maing

Ismail Marzuki jadi salah satu anak Betawi yang beruntung hidup di era penjajahan Belanda. Anak Betawi kelahiran Kwitang, 11 Mei 1914 itu memiliki orang tua yang hidup berada. Ayahnya yang bernama Marzuki mampu menyediakan segala macam kebutuhan Ismail kecil.

Anaknya jadi tak pernah kekurangan hiburan. Ayahnya kerap mengakomodasi kebutuhan Ismail. Kebutuhan dalam mengakses hiburan lewat mesin ngomong pun termasuk di dalamnya. Istilah mesin ngomong itu sesuai ungkapan orang Betawi dalam menyebut mesin pemutar musik, gramofon.

Saban hari ayah Ismail membeli pelat (piringan hitam) dari ragam genre musik. Pria yang biasa disapa Maing pun senang bukan main. Ia menikmati setiap musik yang didengarnya. Ia suka musik samba, ia suka pula musik barat. Ia merasa momen mendengarkan musik adalah waktu terbaiknya dalam kehidupan.

Kesukaan Maing akan dunia musik mulai meningkat. Ia mulai mengeksplorasi bakatnya dalam bermain alat musik – gitar hingga mandolin.

“Boleh dibilang, dari koleksi pelat ayahnya itulah Ismail pertama kali bersentuhan dengan musik. Ismail kecil, yang akrab dipanggil Maing di lingkungan Kampung Kwitang, bisa duduk berjam-jam di depan gramofon menyimak lagu-lagu koleksi sang ayah,” ujar Ratnaning Asih dan kawan-kawan dalam tulisannya di majalah Tempo berjudul Seorang Maestro dengan Paru-Paru Basah, 12 Mei 2014.

Kesukaan Maing dalam bermusik kian bertumbuh. Momentum paling menentukan adalah kesempatan Maing mengakses pendidikan. Maing tercatat pernah bersekolah di sekolah setingkat SMP, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).

Kesempatannya belajar dimaksimalkan. Ia tak mau menyia-nyiakan ilmu yang didapat. Ismail pun dapat memetik manfaatnya. Ia tak saja pandai berbahasa Belanda dan Inggris, tapi sekolah membuka kesempatannya mengenal musik.

Ismail pun berkesempatan mengembangkan bakat musiknya. Apalagi, ayah Ismail selalu mendukung bakat anaknya dengan membelikan berbagai macam alat musik. Kondisi itu membuat kamar Ismail seraya studio musik. Alat musik berserakan di mana-mana.  

Koleksi itu jadi sandaran Ismail menggoreskan mimpi jadi seorang musisi terkenal. Impian Ismail dianggap muluk-muluk oleh sebagian besar orang. Semua itu karena penjajahan tak memberikan ruang orang Betawi ataupun bumiputra lainnya untuk bermimpi. Namun, tidak bagi Ismail.

Ismail membuktikan bahwa ia bisa meraih mimpi. Kehidupan lalu menjodohkannya dengan grup musik keroncong, Lief Java. Ismail yang kala itu berusia 23 tahun bertindak sebagai penyanyi, pemain musik, dan pencipta lagu. Belakangan ia justru dikenal sebagai penyanyi, ketimbang pemusik.

Penggemarnya mulai hadir. Suara dan pemainan musiknya sering nongol di radio dan panggung besar macam klub orang Belanda, Societeit. Satu-satunya pantangan Ismail adalah main di hajatan nikahan. Ia menganggap main dinikahan sama dengan menurunkan pamor seorang musisi.  

Berjuang Lewat Musik

Hidup Ismail di masa penjajahan Belanda lurus-lurus saja. Mata batinnya mulai terbuka saat penjajah Belanda berganti ke penjajah Jepang. Ia mulai peka melihat penjajahan justru menyulitkan hidup kaum bumiputra, utamanya orang Betawi.

Kepekaan itu berpengaruh kepada daya ciptanya menciptakan lagu-lagu. Guratan nada-nada perjuangan mulai menghiasi daya ciptanya menuliskan lagu. Kondisi itu tertuang dalam lagu Bisikan Tanah Air. Ia kadang nekat gunakan corong radio Jepang untuk menyiarkan lagunya.

Militer Jepang pun mulai menganggap ismail sebagai pengganggu. Resiko perjuang kemerdekaan memang begitu. Ismail bahkan pernah merasakan tegangnya diinterogasi dan ditahan militer Jepang. Nyalinya tak ciut. Ismail justru terus menajamkan semangat berjuang lewat musik.

Lagu-lagu seperti Gagah Perwira, Gugur Bunga, Rayuan Pulau Kelapa pun lahir. Lagu-lagunya jadi pengantar rakyat Indonesia berjuang. Ia pun merasakan suka cita saat perjuangannya dan pejuang lainnya melihat Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.

Kemerdekaan itu disambut dengan suka cita, tapi Belanda lagi-lagi membawa masalah.  Mereka kembali datang ke Indonesia karena mengetahui penjajah Jepang sudah menyerah dalam perang. Belanda lewat bendera pemerintahan sipil, NICA mulai mengepung kota-kota besar di Indonesia.

Belanda berlagak amnesia. Mereka masih menganggap Indonesia wilayah jajahannya. Belanda lalu mengajak pejuang kemerdekaan untuk bekerja sama. Maing pun geram bukan main. ia menolak mentah-mentah keinginan Belanda. Ia lebih memilih hidup susah, dibanding bantu penjajah.

“Ismail tak sudi bekerja pada NICA. Kuartet Empat Sekawan dibubarkan dan Ismail membuka kursus bahasa Inggris di rumahnya. Istrinya Eulis Zuraidah, dengan setia membantu mencari nafkah. Ia berjualan gado-gado, mi goreng, dan asinan,” tegas Ahmad Naroth dalam buku Ketoprak Betawi (2000).

Semangat penolakan itu membuat orang Betawi salut dengan perjuangan Ismail. Lagu-lagunya seraya anthem Perang Revolusi (1945-1949). Lagu itu terus mengalun di telinga pejuang kemerdekaan hingga Indonesia benar-benar berdaulat pada akhir 1949.

Ismail tetap teguh di jalur musik. Ia terus memainkan kreativitasnya untuk membuat lagu. Lagu-lagu yang digubahnya pun tak lagi urusan nasionalisme belaka. Ia juga meciptakan banyak lagu. Lagu sindiran hingga percintaan. Total ia tercatat dapat menciptakan lebih dari 200 lagu.

Semangatnya berjuang lewat lagu tak pernah dilupakan, walau ia telah tiada. Pemerintah DKI Jakarta bahkan menggunakan namanya jadi penanda rumah baru seniman Jakarta pada 10 November 1968. tempat itu lazim dikenal sebagai TIM. Beberapa tahun setelahnya, Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional.

 

 

Share
Lifestyle
Pendaki Gunung Fuji Musim Panas ini Menurun Setelah Diberlakukan Biaya Masuk

Pendaki Gunung Fuji Musim Panas ini Menurun Setelah Diberlakukan Biaya Masuk

Penyanyi Era 90-an Puput Novel Meninggal Dunia di Usia 50 Tahun

Dunia hiburan tanah air kembali berduka. Artis yang populer di tahun 90-an, Puput Novel, tutup usia pada Minggu sore (8/9) di RS MMC Kuningan.

Aktris Drama Korea, Jo Bo Ah akan Menikah pada Bulan Oktober ini!

Aktis cantik Jo Bo Ah dikabarkan akan menikah dengan kekasihnya yang bukan dari kalangan selebriti

Makna Mendalam Lagu Wake Me Up When September Ends dari Green Day

Setiap kali September tiba, "Wake Me Up When September Ends" menjadi salah satu lagu ikonik di bulan ini. Lagu ini merupakan karya hits milik band punk rock asal Amerika Serikat, Green Day.

Rossa Ajak Ariel NOAH Remake Lagu Nada-Nada Cinta, Ini Alasannya

Tahun ini, Rossa meirilis ulang lagu ini dengan duet Bersama Ariel NOA untuk soundtrack film dokumenternya: All Access To Rossa 25 Shining Years yang dirilis 1 Agustus 2024 lalu.

Berita Terpopuler

Kusni Kasdut dan Robin Hood: Kisah Kelam Pejuang Kemerdekaan Jadi...

Indonesia juga mengenal orang baik jadi jahat. Kusni Kasdut, namanya. Kusni Kasdut awalnya pejuang kemerdekaan yang berubah jadi penjahat yang paling dicari.

Tradisi Unik Suku Toraja, Menikah dan Hidup Bersama Jenazah

Tradisi Unik Suku Toraja, Menikah dan Hidup Bersama Jenazah

Kronologi Suami Artis Jennifer Coppen Meninggal Akibat Kecelakaan...

Kronologi suami Jennifer Coppen yang meninggal karena kecelakaan motor di Bali.

Celine Dion Sulit Kendalikan Ototnya karena Stiff Person Syndrome

Penyanyi asal Kanada, Celine Dion, saat ini tengah berjuang melawan penyakit Stiff Person Syndrome (SPS) sejak Desember 2022 lalu.