• Sabtu, 21 September 2024

Falsafah Siri Na Pacce: Cara Orang Bugis-Makassar Jaga Harga Diri dan Tahu Malu

Falsafah Siri Na Pacce: Cara Orang Bugis-Makassar Jaga Harga Diri dan Tahu Malu
Gambaran aktivitas adat orang Bugis-Makassar tempo dulu | Wereldmuseum Amsterdam

SEAToday.com, Jakarta - Indonesia tidak dalam kondisi baik-baik saja. Moral pejabat tingginya kerap dipertanyaan. Ada menteri yang kedapatan korupsi. Ada juga pejabat yang doyan main judi online (judol). Belum lama pula ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) dipecat secara tak terhormat karena skandal percintaan.

Kondisi itu membuat urusan jaga harga diri dan tahu malu sudah langka. Padahal, nenek moyang bangsa Indonesia telah ajarkan banyak falsafah hidup. Orang Bugis-Makassar bahkan mengenal falsafah Siri Na Pacce. Mereka menganggap tiada yang lebih tinggi dari urusan harga diri-tahu malu. Begini ceritanya.

Dulu kala penjajah Belanda sempat takut kepada kaum bumiputra yang menonton film di bioskop era 1900-an. Ketakutan berasal dari menjamurnya film barat –Amerika Serikat (AS) yang diputar. Kebanyakan film itu mempertontonkan laku hidup seorang koboi yang main hakim sendiri.

Sosok jagoan dalam film koboi sering kali digambarkan jadi pembela harga diri dan keluarganya. Pembelaan itu mengabaikan hukum yang berlaku. Mereka tak percaya aparat penegak hukum. Jadinya, koboi itu melawan musuh dengan caranya sendiri. Belanda pun takut hal yang sama terjadi di Nusantara.

“Film-film cerita yang masuk ke Hindia Belanda umumnya beraliran genre yang memperlihatkan tingkah laku orang Barat (Amerika dan Eropa) di dalam menyelesaikan suatu masalah tanpa mempedulikan hukum yang berlaku,” ungkap M. Sarief Arief dalam buku Politik Film di Hindia Belanda (2010).  

Kaum penjajah takut jika film barat menginspirasi kaum bumiputra untuk memberontak. Kondisi itu karena harga diri dan martabat kaum bumiputra sering diinjak-injak Belanda. Belanda memulai memberlakukan kebijakan penting, aksi sensor film.

Falsafah Siri Na Pacce

Ketakutan penjajah Belanda beralasan. Kaum penjajah tak ingin mengembalikan ingatan bumiputra terhadap budaya leluhur bangsa yang menjunjung tinggi urusan harga diri. Belanda memahami kaum bumiputra memiliki harga diri dan budaya malu yang tinggi.

Barang siapa yang meninjak-injak harga diri, niscaya akan langsung dibalas. Dulu kala orang Bugis pun sudah memegang falsafah hidup itu. Mereka selalu menganggap penting urusan jaga harga diri dan tahu malu. Sikap itu bermuara dari falsafah hidup yang dipegang orang Bugis-Makassar: Siri Na Pacce.

Falsafah hidup Siri Na Pacce sudah dijunjung tinggi sejak lama. Urusan itu bahkan banyak tertulis dalam lontara Bugis. Budayawan Bugis, Feby Triadi mengungkap Siri Na Pacce adalah gabungan dari dua kata penting.

Siri sering diartikan sebagai wujud dalam menjunjung tinggi harga diri dan tahu malu. Pacce sendiri dianggap sebagai bentuk soladiritas atau kesetiakawanan saat melihat saudaranya – orang Bugis sirinya (kehormatan) dilecehkan.

“Konsep ini sendiri memadukan antara siri penegakan harga diri dan rasa malu yang selalu dijunjung tinggi orang Bugis-Makassar. Malu jika berbuat hal yang negatif yang tidak sesuai dengan norma dan moral masyarakat. Sedangkan pacce atau pesse, adalah rasa kesetiakawanan yang tinggi, orang Bugis-Makassar sangat menjunjung nilai kesetiakawanan ini, mereka tidak akan meninggalkan teman, sahabat dan keluarganya dalam kondisi yang tidak menguntungkan,” ungkap Feby Triadi saat dihubungi SEAtoday, 14 Juli 2024.

Konsep Siri Ma Pacce bak tampil visioner. Bahkan, jauh sebelum hadirnya istilah Hak Asasi Manusia (HAM). Harga diri sudah dianggap sebagai rangkaian yang sudah dibawa orang Bugis sedari lahir.

Hak atas harga diri itu seraya dijaga hormati (respect), dipenuhi (fullfill), dan dilindungi (protect). Sebab, orang Bugis-Makassar lainnya selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kesetiakawanan.

Bela Siri Na Pacce

Penegakan siri biasanya dikarenakan dua hal: harga diri dan rasa malu. Siri yang membela harga diri pribadi, keluarga, dan sukunya adalah bentuk menjaga kehormatan dalam hal kebenaran. Barang siapa yang melanggar atau mempermalukan siri seseorang, niscaya nyawa jadi taruhan.

Mereka yang menegakkan siri tentu tak punya pilihan lain: membunuh dan terbunuh. Kalah-menang tak jadi soal. Orang Bugis-Makassar menganggap perjuangan mereka menjaga siri tetap dinilai mulia. Ajian perlawanan erat hubungan dengan sikap pantang mundur.

“Dalam keyakinan orang Bugis atau Makassar bahwa orang yang mati terbunuh karena menegakkan Siri, matinya adalah mati syahid, atau yang mereka sebut sebagai Mate Risantangi atau Mate Rigollai, yang artinya bahwa kematiannya adalah ibarat kematian yang terbalut santan atau gula. Dan, itulah sejatinya Ksatria,” ujar Rizal Darwis dan Asna Usman Dilo dalam tulisannya di jurnal el Harakah berjudul Implikasi Falsafah Siri Na Pacce Pada Masyarakat Suku Makassar di Kabupaten Gowa (2012).

Penegakan siri dalam menjaga budaya malu pun begitu. Rasa malu itu dijunjung tinggi orang Bugis-Makassar dalam bekerja. Siri itu menjadi benteng mereka untuk mencegah keburukan. Mereka percaya dengan melakukan pekerjaan selaras dengan didukung adat dan agama dianggap membawa berkah.

Keyakinan itu menjauhkan mereka dari ragam keburukan. Mereka jadi terhindar dari perilaku menyeleweng – korupsi dan sebagainya. Perilaku buruk sama artinya mereka membawa nama pribadi, keluarga, hingga suku terkena imbas keburukan. Apalagi, mereka yang merantau.

“Sejatinya masyarakat Bugis selalu merujuk pada konteks di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Sehingga, akan terasa mapakasiri (tahu malu) jika dalam kehidupan ia menyimpang. Begitu juga dalam dunia kerja, pikirku nilai siri selaras dengan etos kerja orang Bugis,” tambah Feby Triadi.

Sikap tahu malu itu tak jarang membimbing mereka dalam kesuksesan. Beda dengan mereka yang sudah masa bodoh dengan rasa malu. Kondisi itu dianggap sebagai tindakan yang sudah melunturkan sirinya sendiri. Alias, mempermalukan diri sendiri.

Pekerjaan jadi tak amanah dan berakntakan. Mereka yang jadi pejabat publik bisa mengambil harta yang bukan haknya. Mereka melakukan kegiatan yang dilarang negara. Bahkan, mereka yang mempermalukan diri sendiri dengan skandal asusila.   

Share
Lifestyle
Pendaki Gunung Fuji Musim Panas ini Menurun Setelah Diberlakukan Biaya Masuk

Pendaki Gunung Fuji Musim Panas ini Menurun Setelah Diberlakukan Biaya Masuk

Penyanyi Era 90-an Puput Novel Meninggal Dunia di Usia 50 Tahun

Dunia hiburan tanah air kembali berduka. Artis yang populer di tahun 90-an, Puput Novel, tutup usia pada Minggu sore (8/9) di RS MMC Kuningan.

Aktris Drama Korea, Jo Bo Ah akan Menikah pada Bulan Oktober ini!

Aktis cantik Jo Bo Ah dikabarkan akan menikah dengan kekasihnya yang bukan dari kalangan selebriti

Makna Mendalam Lagu Wake Me Up When September Ends dari Green Day

Setiap kali September tiba, "Wake Me Up When September Ends" menjadi salah satu lagu ikonik di bulan ini. Lagu ini merupakan karya hits milik band punk rock asal Amerika Serikat, Green Day.

Rossa Ajak Ariel NOAH Remake Lagu Nada-Nada Cinta, Ini Alasannya

Tahun ini, Rossa meirilis ulang lagu ini dengan duet Bersama Ariel NOA untuk soundtrack film dokumenternya: All Access To Rossa 25 Shining Years yang dirilis 1 Agustus 2024 lalu.

Berita Terpopuler

Kusni Kasdut dan Robin Hood: Kisah Kelam Pejuang Kemerdekaan Jadi...

Indonesia juga mengenal orang baik jadi jahat. Kusni Kasdut, namanya. Kusni Kasdut awalnya pejuang kemerdekaan yang berubah jadi penjahat yang paling dicari.

Tradisi Unik Suku Toraja, Menikah dan Hidup Bersama Jenazah

Tradisi Unik Suku Toraja, Menikah dan Hidup Bersama Jenazah

Kronologi Suami Artis Jennifer Coppen Meninggal Akibat Kecelakaan...

Kronologi suami Jennifer Coppen yang meninggal karena kecelakaan motor di Bali.

Celine Dion Sulit Kendalikan Ototnya karena Stiff Person Syndrome

Penyanyi asal Kanada, Celine Dion, saat ini tengah berjuang melawan penyakit Stiff Person Syndrome (SPS) sejak Desember 2022 lalu.