• Kamis, 19 September 2024

Orang Bali dan Ngaben: Sebuah Perayaan Kematian yang Mahal dan Meriah

Orang Bali dan Ngaben: Sebuah Perayaan Kematian yang Mahal dan Meriah
Suasana upacara ngaben yang notabene perayaan kematian secara besar-besaran di Pulau Bali | ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo

SEAToday.com, Jakarta - Hidup senantiasa terus berjalan. Manusia pun begitu, dari lahir hingga menjelang ajal. Catatan itu jadi bukti bahwa kehidupan manusia dengan maut senantiasa berada di satu gerbong. Namun, tak semua siap dengan urusan kematian. Keluarga yang ditinggalkan sudah tentu tak kuasa menahan kesedihan.

Umumnya memang seperti itu. Namun, orang Bali adalah pengecualian. Mereka mengganggap kematian adalah jalan menuju kesempurnaan: nirwana. Keyakinan itu membuat mereka menggelar perayaan kematian besar-besaran. Mahal pula. Ngaben, namanya.

Pulau Bali adalah salah satu pusat daya tarik wisata di Nusantara. Pesona itu sudah hadir semenjak era penjajahan Belanda. Pemerintah kolonial Hindia Belanda yang baru menaklukkan kerajaan besar terakhir Bali pada 1908 ada di baliknya.

Mereka mulai menyusun citra Pulau Bali. Mereka melengkapi satu demi satu puzzle kekayaan alam budaya dan tradisi orang Bali. Mereka lalu mengemasnya dalam suatu promosi wisata Bali pulau surga. Bali digambarkan sebagai tempat yang maha indah.

Suatu tempat di mana-mana budaya-budaya eksotis masih bertahan. Imej itu lalu disempurnakan dengan gaung kehadiran upacara-upacara budaya yang dirayakan dengan gegap gempita: Ngaben. Perayaan kematian menjelma jadi daya tarik besar orang-orang datang ke Bali.

Mereka ingin datang untuk melihat bagaimana orang Bali merayakan suatu kematian. Mereka seraya menjadi saksi dari proses pengantaraan orang Bali yang telah tiada ke nirwana.

“Maka, sejak tahun 1920-an, Pulau Bali telah digambarkan sepenuhnya sebagai Taman Firdaus yang asli, tempat lahinya budaya yang belum terjamah modernitas dan perubahan-perubahannya, dan yang penduduk aslinya, yang dikaruniai bakat seni yang luar biasa, banyak menghabiskan waktu dan kekayaan mereka untuk menampilkan berbagai upacara mewah bagi kesenangan mereka dan dewa mereka,” ungkap Michel Picard dalam buku Kebalian: Konstruksi Dialogis Identitas Bali (2020).

Tradisi Ngaben

Kehadiran tradisi ngaben jadi bukti bahwa kematian tak harus dimaknai sebagai parade kesedihan saja. Ngaben jadi penerang orang Bali mampu menerima kematian dengan hati yang lebih ringan. Bahkan, perayaan itu dapat dinikmati orang banyak dengan suasana kebersamaan yang meriah.

Jika ditelusuri ngaben sudah menjadi bagian dari laku hidup masyarakat Bali sejak dulu kala. Tradisi itu dilakukan untuk membebaskan arwah mereka yang telah tiada – dari ikatan duniawi ke surga dan menanti reinkarnasi.

Semuanya bermuara pemahaman orang Bali terkait manusia. Mereka mendefenisikan seorang manusia memiliki tiga lapisan badan kasar, badan halus, dan roh. Orang Bali pun percaya jika orang meninggal dunia mereka hanya meninggal tubuh fisik, sedang roh tetap ada.

Roh manusia akan terus bergantayangan karena tubuh fisik tak lagi menopang. Proses roh pengembalian ke Sang Pencipta itu dikenal dengan ngaben. Mereka yang melangsungkan ngaben adalah para ahli waris.

“Manusia terdiri dari tiga lapisan: badan kasar (stula sarira), badan halus (suksma sarira), dan atma (roh murni). Ngaben pada dasarnya adalah prosesi membebaskan atma biar bisa bersatu dengan Hyang Widhi. Untuk membebaskan roh murni ini, gampangannya ibarat mendapatkan kuning telur rebus. Terlebih dahulu kita harus mengupas kulitnya (badan kasar) dan kemudian putih telurnya (badan halus),” ujar Seno Joko Suyono dalam laporannya di majalah Tempo berjudul Ngaben: Reformasi dalam Sebuah Prosesi, 10 Februari 2002.

Makin tinggi strata sosial yang meninggal dunia, makin tinggi pula biaya yang dikeluarkan. Itupun dengan tingkatan upacara dari nista (kecil), madya (sedang), dan utama (besar). Masing-masing tingkatan yang dipilih jadi penentu dari besarnya dana yang dikeluarkan: ratusan juta hingga miliaran.

Alasan Ngaben Mahal

Orang Bali sampai rela untuk menguburkan dulu jenazah keluarga dalam waktu yang lama untuk mengumpulkan duit. Upaya itu dilakukan untuk menyelenggarakan ngaben yang besar untuk keluarganya. Kondisi itu kerap dikritik karena dianggap memberatkan juga jadi pemborosan.

Antrolog Universitas Negeri Makassar, Dimas Aryo Sumilih memiliki pandangan lain. Dimas menyadari ngaben adalah upacara yang mahal jika mengikuti tingkatan strata sosial. Biaya besar yang dikeluarkan dianggapnya sebagai bentuk cara orang Bali memaknai kematian.

Suatu siklus kehidupan dari ada hingga tiada. Orang bali pun menganggap kematian sebagai proses sakral berkaitan dengan transformasi spiritual. Alias, perjalanan ke alam berikutnya. Ada kedudukan dan status yang dipertaruhkan dalam upacara.

Kondisi itu membuat orang Bali, kadang kala mengusahakan keluarganya mendapatkan ngaben dengan tingkat upacara yang besar. Ada kebanggaan. Ada pula untuk menjaga identitas mereka di masyarakat.  

“Upacara ngaben besar-besaran melibatkan fakta status sosial. Di samping memang melekat pada ‘warna’ yang ada dalam tradisi Bali. Tentu saja juga berkaitan dengan kesadaran kolektif untuk menjaga kohesi sosial dan identitas mereka,” ujar Dimas sebagaimana dihubungi SEAToday.com, 14 September 2024.

Dimas melajutkan ngaben berbiaya mahal pun dilakukan untuk menjaga tiga hal utama. Identitas kolektif, kohesi sosial komunitas, dan status kekerabatan. Alasan itu yang mendasari sebagian besar orang Bali sejak dulu kala menggaungkan ngaben dengan besar-besaran.

Namun, bukan berarti ngaben tak bisa dilakukan dengan biaya murah. Ngaben bisa saja murah. Apalagi, dalam perkembangannya ada istilah ngaben massal. Upacara itu adalah bentuk menyelaraskan upacara konteks kehidupan masyarakat dengan dinamika kekinian. Artinya ada pola pewarisan budaya di situ.

“Itu menurut saya bagian dari pola pewarisan budaya. Pola pewarisan budaya bisa dipahami dalam tiga bentuk. Pertama, pewarisan apa adanya tanpa ada unsur perubahan baik bentuk maupun makna. Kedua, pewarisan dengan ada beberapa perubahan bentuk dan makna karena dinamika kehidupan sosial. Ketiga, pewarisan dengan mengganti pola lama, meninggalkan dan diganti pola baru,” tambah Dimas.

Dimas pun meyakini ngaben massal adalah bentuk pola pewarisan budaya yang kedua. yang mana, kehadirannya dianggap bisa mengurangi aspek-aspek yang mulanya dianggap ribet. Kondisi itu juga jadi bukti bahwa inovasi budaya telah dilakukan.

Share
Lifestyle
Pendaki Gunung Fuji Musim Panas ini Menurun Setelah Diberlakukan Biaya Masuk

Pendaki Gunung Fuji Musim Panas ini Menurun Setelah Diberlakukan Biaya Masuk

Penyanyi Era 90-an Puput Novel Meninggal Dunia di Usia 50 Tahun

Dunia hiburan tanah air kembali berduka. Artis yang populer di tahun 90-an, Puput Novel, tutup usia pada Minggu sore (8/9) di RS MMC Kuningan.

Aktris Drama Korea, Jo Bo Ah akan Menikah pada Bulan Oktober ini!

Aktis cantik Jo Bo Ah dikabarkan akan menikah dengan kekasihnya yang bukan dari kalangan selebriti

Makna Mendalam Lagu Wake Me Up When September Ends dari Green Day

Setiap kali September tiba, "Wake Me Up When September Ends" menjadi salah satu lagu ikonik di bulan ini. Lagu ini merupakan karya hits milik band punk rock asal Amerika Serikat, Green Day.

Rossa Ajak Ariel NOAH Remake Lagu Nada-Nada Cinta, Ini Alasannya

Tahun ini, Rossa meirilis ulang lagu ini dengan duet Bersama Ariel NOA untuk soundtrack film dokumenternya: All Access To Rossa 25 Shining Years yang dirilis 1 Agustus 2024 lalu.

Berita Terpopuler

Tradisi Unik Suku Toraja, Menikah dan Hidup Bersama Jenazah

Tradisi Unik Suku Toraja, Menikah dan Hidup Bersama Jenazah

Kusni Kasdut dan Robin Hood: Kisah Kelam Pejuang Kemerdekaan Jadi...

Indonesia juga mengenal orang baik jadi jahat. Kusni Kasdut, namanya. Kusni Kasdut awalnya pejuang kemerdekaan yang berubah jadi penjahat yang paling dicari.

Kronologi Suami Artis Jennifer Coppen Meninggal Akibat Kecelakaan...

Kronologi suami Jennifer Coppen yang meninggal karena kecelakaan motor di Bali.

Celine Dion Sulit Kendalikan Ototnya karena Stiff Person Syndrome

Penyanyi asal Kanada, Celine Dion, saat ini tengah berjuang melawan penyakit Stiff Person Syndrome (SPS) sejak Desember 2022 lalu.